Guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Guru yang baik tidak hanya
mengajar di kelas, tetapi membimbing murid-muridnya di luar sekolah.
Saat teladan guru hilang, siswa sekolah pun menjadi beringas. Buntutnya,
tawuran pun kerap terjadi.
"Banyak hal yang melatarbelakangi
tawuran siswa. Salah satunya adalah akibat degradasi teladan guru-guru.
Guru kini merasa tugasnya hanya mengajar di kelas. Sudah tidak ada lagi
figur guru yang mendidik dan memberi teladan para siswanya," ujar
Sosiolog Musni Umar kepada detikcom, Senin (20/9/2011) malam.
Musni
menyayangkan hal ini. Menurutnya, di Jabodetabek, guru-guru sekolah
negeri digaji dengan layak. Selain gaji sebagai PNS, ada tunjangan dari
Dinas Pendidikan. Masih ditambah lagi pendapatan lain dari penjualan
buku, atau tunjangan lain dari internal sekolah.
"Sayang
meningkatnya kesejahteraan itu tidak diikuti dengan semakin tingginya
rasa kepedulian pada siswanya," jelas Musni yang pernah menjadi Ketua
Komite Sekolah SMAN 70 Jakarta ini.
Selain karena faktor guru,
Musni menilai penyebab tawuran adalah karena budaya nongkrong yang kerap
dilakukan siswa sepulang sekolah. Karena tidak ada aktivitas berarti,
maka mereka melampiaskan waktu luangnya dengan tawuran.
"Sudah
jadi tradisi pula, senior mengajarkan tawuran pada juniornya. Hal ini
yang harus mendapat sanksi tegas. Agar hal ini berhenti, tidak menjadi
tradisi lagi," tegasnya.
Musni berharap wali kelas, guru piket,
dan satpam selalu berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Diharapkan
mereka selalu memantau aktivitas siswa setelah pulang sekolah. Dengan
demikian tawuran atau aktivitas negatif siswa bisa dicegah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar